Seindah gerhana rembulan menghias malam lalu. Teringat kala itu, ditemani barisan kejora. Itu malam terang benderang, seakan siang berlari menjenguki malam. Memang segala kerisauan yang berkicau dalam dada, kupertentangkan layaknya persidangan. Ah biarlah... mungkin diantara mereka akan ada yang memutuskan sebuah keputusan yang kuanggap layak dan pantas sebagai sebuah jawaban. Ya semoga saja. Karena kutahu untuk mengahsilkan sebuah keputusan itu tidak mudah. Harus diawali dengan pertikaian, pertikaian yang kumaksud bukanlah antarjiwa melainkan pertikaian batiniah. Dari dulu ingin rasanya aku menemukan jawaban yang tepat atas sebuah pertanyaanku. Pertanyaan yang malah membuatku susah sendiri. Bagaimana tidak, pertanyaanku ini bukanlah sembarang pertanyaan. Kukira kalian pasti akan bingung juga dalam menentukan jawabannya. Sehingga tidak kupercayai diriku sendiri dalam menentukan keputusan. “Siapa sebenarnya pencipta itu”. Konflik ini sudah kualami sejak sekian lama. Nah, hingga kini pertanyaan yang kubuat untuk diriku sendiri itu malah membuat pertanyaan diatas pertanyaan. Katanya, “ Kita pernah bertemu dengannya”, entah siapa yang pernah berkata seperti itu, tapi yang pasti kata itu yang menetap dalam ingatan. Sebuah janji terikrar antara kita dengan sang pencipta. Tapi entahlah, janji itu tidak kupermasalahkan. Tapi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara bertemu dengannya? Banyak hal yang membuat diriku penasaran akan hal kehidupan, kenapa ada harus ada dosa jika pahala yang dikehendaki. Mengapa harus ada kejahatan yang selalu tampak menapaki kebaikan. Banyak lagi dan terlalu banyak hingga sulit berkata. Bukankah pencipta itu selalu ada dan selalu memperhatikan kita. Ada kalanya sampai terlontar sebuah perkataan “ Sombong benar dirinya hanya berani melihat diriku dari kejauhan, tindakan seperti itu tidak lain adalah sebuah tindakan seorang pengecut”. Lancang sungguh aku sebagai hambanya. Tapi ya begitulah kalau orang yang memerlukan sebuah kepastian di sebuah keputusan. Selalu saja aku membuat sebuah kesimpulan sendiri tentang dirinya. Tapi kesimpulan itu tidaklah berarti. Malah membuat pertanyaan itu seolah yang bertanya kembali kepada diriku. Ibaratkan angin yang berhembus simpulan itu malah sepoi-sepoi menghilang. Segala kuasanya memang tidak ada satupun di wadah yang dia ciptakan mampu menandingi. Bentuk kekuasaan seorang pencipta ya seperti itu kiranya. Sudahlah begini-begini aku juga mahluk ciptaanya yang dititipkan melalui rahim Sang Ibu. Kalau dipkirkan memang segala hal akan terjawab jika dilihat dari bentuk ciptaanyya. Tapi aku ingin sekali pertanyaannku ini beliaulangsunglah yang menjawabnya. Sehingga tidaklah pertanyaanku itu akan kembali bertanya kepada orang yang membuat pertanyaan itu. Perihal puas atau tidaknya akulah yang memutuskan.
Selasa, 11 November 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar